KSPSTK - Dampak Pandemi COVID -19 tahun 2020 sangat luas, permasalahan dibidang kesehatan tersebut berdampak hampir diseluruh sendi kehidupan, tanpa terkecuali sektor pendidikan. Dampak yang di rasakan di negara kita Indonesia, dibidang pendidikan sangat serius, lantaran Indonesia mengalami Learning Loss di bidang pendidikan. Learning Loss ini berhubungan dengan hilangnya pengetahuan dan kemampuan siswa dibidang Liteasi dan Numerasi yang disebabkan oleh berbagai faktor yang ada selama pandemi Covid-19.
Upaya yang dilakukan Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset Teknologi Republik Indonesia adalah dengan menerapkan Merdeka belajar salah satunya adalah diterapkannya Kurikulum Merdeka. Dengan diluncurkannya Kurikulum Merdeka dimaksudkan untuk mengurangi dampak Learning Loss yang akibat Pandemi Covid-19.
Kurikulum adalah seperangkat atau suatu sistem rencana dan pengaturan mengenai bahan pembelajaran yang dipedomani dalam aktivitas belajar mengajar. Sedangkan MERRDEKA adalah sebuah akronim dari kata kata Mulai dari Diri, Eksplorasi Konsep, Ruang Kolaborasi,Refleksi Terbimbing, Demontrasi Konstektual, Elaborasi Pemahanan, Konekasi antar materi dan Aksi nyata.
Berpijak dari sebuah Buku yang berjudul “Theory U: Leading from the Future as It Emerges”, ditulis oleh C. Otto Scharmer dan diterbitkan pada tahun 2009. Saya mengilustrasikan implementasi Kurikulum Merrdeka berpedoman dari teori U. Dalam menggambarkan Teori U, Scharmer meletakkan pondasi bahwa seseorang haruslah berani untuk “menerima” dan “menjawab” situasi tidak hanya dengan cara mengunduh, namun juga melihat sepenuhnya (open mind), mengerti sepenuhnya (open heart), dan menerima sepenuhnya (open will), untuk kemudian mengembangkan keputusan berdasarkan hasil penerimaan itu.
Scharmer melihat bahwa konstruksi systems thinking konvensional telah berhasil mengajak orang untuk open mind (lewat pemahaman atas events, patterns, dan structure) dan open heart (lewat pemahaman atas mental model), namun belum sepenuhnya mengeksplorasi bagaimana sumber terdalam diri kita mampu melihat dan menerima situasi tersebut dengan jernih melalui open will. Pentingnya open will dijelaskan Scharmer melalui kalimat “the same person in the same situation doing the same thing can effect a totally different outcome depending on the inner place from where that action is coming” (p.27).
Guna memahami “inner place” ini, kita perlu mengetahui terlebih dahulu setiap komponen pembentuk Teori U, sebagaimana terlihat pada gambar dibawah.
Gambar 1. Teori U - sumber: cultivatelearning.com
Gambar 1. komponen-komponen pembentuk Teori U terdiri dari downloading, seeing, sensing, presencing, crystallizing, prototyping, embodying dan perfoming. Kedua komponen ini sendiri terbagi atas komponen “penerimaan” yang terletak di sisi kiri dan komponen “penciptaan” yang terletak di sisi kanan. Downloading adalah proses melihat dunia dari kebiasaan pemikiran yang dimiliki oleh seseorang. Seeing adalah proses menahan diri untuk melakukan penilaian dan melihat kenyataan yang ada dengan “mata yang jernih”. Sensing adalah menghubungkan diri dengan persoalan yang ada. Presencing, yang merupakan inti dari Teori U, adalah proses menghubungkan diri dengan sumber utama segala pemikiran kita. Dari sinilah segala keputusan kita tentang masa depan dibuat.
Komponen “penciptaan”, yang dimaksud dengan crystallizing adalah proses membayangkan hal di masa depan yang akan terjadi. Prototyping adalah menghidupkan keputusan yang baru melalui “dialog dengan alam semesta”. Sementara itu, embodying dan performing adalah menanamkan keputusan yang baru dalam konteksnya.
Seperti dikatakan sebelumnya, pada umumnya dalam menghadapi suatu persoalan kita melakukan proses downloading dan performing alias “mencomot” informasi yang sudah ada di pikiran kita untuk langsung mengambil keputusan. Dalam banyak kasus, terutama di level organisasi, keputusan seperti ini sulit menghasilkan keluaran yang menggembirakan. Oleh karenanya, pengambil keputusan haruslah open mind (melihat seutuhnya). Inilah prasyarat untuk melakukan proses seeing. Penting dan perlu dilakukan adalah menganalisis persoalan yang ada dengan “mata yang jernih”, artinya mencoba melihat keseluruhan gambar yang mungkin tertangkap. Dalam systems thinking konvensional, hal ini sama dengan proses converting story to structure. Untuk itu, kita harus mampu menahan diri dari mengambil keputusan secara tergesa-gesa. Pada tahap ini, kita biasanya menghadapi penghalang yang dinamakan sebagai Voice of Judgment (VOJ).
Selanjtnya, kita juga harus melakukan pengalihan cara pandang dari orang ketiga yang menganalisis situasi/masalah menjadi orang kedua yang merasakan situasi/masalah bersama. Untuk melakukan ini, diperlukan open heart (mengerti seutuhnya). Disebut demikian karena memang pada dasarnya kegiatan ini membutuhkan “rasa”. Penghalang kita dari “rasa” ini disebut sebagai Voice of Cynicsm.
Gambar2. Pembukaan gelar karya P5 di SMK PGRI 2 Jombang
Lebih lanjut, kita memerlukan open will (menerima seutuhnya), yaitu lebih menyatukan diri dengan permasalahan dan mengubah cara pandang dari orang kedua menjadi orang pertama. Dalam open will, kita akan berhadapan dengan Voice of Fear (VOF), yaitu dorongan dalam diri yang menghalangi kita untuk mencerna dan melarutkan diri dalam suatu masalah agar dapat memutuskan dengan hati dan pikiran yang jernih. VOF ini dapat berupa ketakutan akan kehilangan harta, ketakutan akan dipermalukan, ketakutan akan kematian, dan sebagainya. Jika kita berhasil melarutkan diri kita sehingga menyatu dengan permasalahan yang ada, maka kita sudah siap masuk ke dalam fase presencing. Pada saat memasuki fase ini, kita akan berhadapan dengan dilema antara jiwa kita yang berada di masa lalu dan jiwa kita yang siap memutuskan untuk masa depan. Scharmer mengistilahkan ini sebagai self (diri yang terikat masa lalu) dan Self (diri yang siap menuju keputusan untuk masa depan). Keseluruhan proses “penerimaan” diri atas masalah ini bukanlah proses yang sekuensial, melainkan simultan atau setidaknya berjalan dalam waktu yang sangat singkat.
Saya mencoba mencerna Teori U ini dengan apa yang terjadi dalam Implementasi Kurikulum Merrdeka. Siapapun yang terlibat dalam implementasi Kurikulum Merrdeka ini baik itu guru, Kepala Sekolah, maupun Pengawas Sekolah dapat menerapkan Tri Open yaitu Open Mind dengan cara melihat seutuhnya , Open heart yaitu mengerti sepenuhnya dan Open Will yaitu menerima seutuhnya. Selanjutnya mengembangkan keputusan berdasarkan hasil penerimaan itu, Dalam hal ini mengembangkan keputusan dalam implementasi Kurikulum Merrdeka.
Open Mind, melihat seutuhnya apa yang dimaksud Kurikulum Merrdeka. Dimulai dari (1) Huruf M yang maksudnya adalah Mulai dari diri sehingga siapapun yang terlibat dalam Kurikulum Merrdeka dimulai dari dirinya sendiri untuk melakukan sebuah paradigma. Ada motivasi internal untuk tergerak dalam melihat seutuhnya apa itu Kurikulum Merrdeka. Dalam implementasi Kurikulum Merrdeka berpijak pada filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara bahwa yang dimaksud Pendidikan adalah menuntun segala kodrat anak untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan setinggi tingginya baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Kata menuntun mengandung makna guru harus mampu mengenali dan memahami karakteristik murid. Inilah salah satu paradigma dalam Kurikulum Merdeka yang harus dimiliki oleh seorang guru dengan cara menuntun murid sesuai dengan kodratnya.
Murid lahir dengan segala karakteristik dan kodratnya. Menurut Ki Hajar Dewantara murid lahir sudah membawa kodratpenciptaan berupa kodrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam berhubungan karakteristik murid yang berhubungan dengan penciptaan dari sang pencipta. Sedangkan kodrat zaman berhubungan dengan keadaan dunia sejak murid dilahirkan.
Huruf ke dua (2) adalah E singkatan dari Eksplorasi konsep. Dalam implementasi Kurikulum Merrdeka guru melakukan eksplorasi tentang Filosofi pendidikan KiHajar Dewantara yang dikaitkan dengan pendidikan Nasional. Guru paham betul tujuan pendidikan Nasional, Profil Pelajar Pancasila dan student wellbeing. Konsep-konsep tersebut harus dikuasai penuh oleh seorang guru. Disamping itu guru dituntut memahami pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan murid, Pembelajaran social Emosional, coaching, pemimpin pembelajaran, pengelolaan pembelajaran yang berdampak positif pada murid.
Huruf ke (3) adalah R singkatan dari Ruang Kolaborasi. Seorang guru dalam implementasi Kurikulum Merrdeka melaksanakan koneksi dalam memahami apa yang sudah dieksplor. Aktivitas Ruang kolaborasi ini guru belajar dengan sesama guru sehingga pembelajaran orang dewasa dikedepankan. Memlalui Ruang Kolaborasi inilah guru mengembangkan Community Practice yaitu komunitas yang saling menggerakan.
Huruf ke (4) adalah R singkatan dari kata Refleksi Terbimbing. Agar pemahaman yang didapat dalam aktivitas Ruang Kolaborasi ini tidak bias atau keluar dari makna yang sebenarnya maka guru dalam melaksanakan kegiatan tersebut melalui Refleksi Terbimbing. Disinilah peran ahli dalam bidangnya akan mendampingi guru dalam melaksanakan sebuah refleksi dari apa yang sudah didiskusikan bersama dengan komunitasnya.
Huruf kelima (5) adalah D singkatan dari Demontrasi Kontekstual. Setelah guru guru melaksanakan tahapan Refleksi yang dibimbing oleh ahlinya tahap berikutnya adalah guru secara mandiri melaksanakan uji coba-uji coba Atau demontrasi yang sesuai dengan konteks yang sebenarnya atau nyata. Uji coba dilaksanakan di tempat guru melaksanakan tugas. Sehingga guru memiliki ruang gerak yang sangat luas untuk melakukan sebuah inovasi sesuai dengan kondisi.
Huruf (6) adalah E singkatan dari kata Elaborasi Pemahaman. Dalam elaborasi pemahaman ini maka guru melaksanakan implementasi kurikulum dengan teliti, detail dan hati hati. Sehingga guru benar benar mendidik murid sesuai dengan kodratnya, sesuai dengan karakteristiknya. Untuk menguatkan kompetensi guru dalam elaborasi pemahaman ini guru dibimbing oleh instrukur yang kompeten dalam bidangnya. Ada komunikasi dua arah dalam elaborasi pemahaman.
Huruf ke tujuh (7) adalah K singkatan dari Koneksi antar materi. Ditahap inilah guru harus mampu menghubungkan materi materi pembelajaran dengan materi materi pembelajaran yang lainnya. Guru melakukan analisa hubungan materi dalam mata pelajaran maupun antar mata pelajaran. Koneksi antar materi ini menjadi sebuah pijakan untuk membangun budaya cipta atau create pada diri murid. Tahapan koneksi antar materi inilah guru diberi ruang gerak yang sangat luas untuk melakukan sebuah inovasi yang berujung muncullah kreativitas.
Huruf terakhir (8) adalah A singkatan dari Aksi Nyata. Merupakan sebuah rencana aksi yang aplikatif dalam implementasi Kurikulum Merrdeka. Guru melaksanakan pembelajaran yang merrdeka, sehingga siswa mendapatkan pelayanan pembelajaran sesuai dengan keutuhannya.
Gambar 3. Menjelaskan tujuan Gelar karya P5
Open Heart, Mengerti Sepenuhnya. Dari makna kata Kurikulum Merrdeka diatas guru mengerti dan memahami sepenuhnya. Semua tahapan Kurikulum Merrdeka dimengerti dan dipahami, dengan kata lain hatinya ikhlas untuk melakukannya. Open Will, menerima sepenuhnya. Setelah guru memiliki budaya Open Mind dan Open Heart maka pada diri guru akan muncul rasa Open Will yaitu perasaan menerima seutuhnya tentang Kurikulum Merrdeka. Dengan munculnya perasaan menerima seutuhnya ini maka pada diri guru akan melaksanakan dan mengembangkan Kurikulum Merrdeka.
Dari uraian singkat diatas, dengan Tri Open yang dilakukan oleh semua guru akan membawa keberhasilan dalam pelaksanaan kurikulum merdeka. Dimana esensi dari pendidikan adalah menuntun segala kodrat anak untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan setinggi tingginya baik sebagai individu maupun anggota masyarakat, dimana guru harus mampu mengenali dan memahami karakteristik murid. Guru melaksanakan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan murid. Dengan kurikulum merdeka, pembelajaran akan lebih bermakna, tercapainya siswa yang bahagia (student wellbeing) sehingga Learning Loss di bidang pendidikan akan dapat terselesaikan.
Salam semangat pembelajar sepanjang hayat !!!
Drs. Suyono, M.M.
Pengawasan Sekolah Ahli Utama /IV d
Cabang Dinas Pendidikan Kab Jombang Jawa Timur